“ Tiga amalan yang Allah menyukainya, mereka yang shalat tepat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, dan berjihad di jalan Allah”
Sebuah cerita menarik, bagi temen-temen yang belum sempat membaca.
Ayah, Penyesalan Tak Bertepi
Entah kenapa sejak kecil saya tidak begitu dekat dengan Ayah. Saya lebih sering bermain dan merasa lebih nyaman bersama Ibu. Dengan ayah, hubungan itu terasa begitu kaku. Terlebih beliau sering memarahi dan memukuli saya sewaktu kecil. Hingga SMA, saya masih merasa Ayah tak seperti ayah-ayah lainnya. Ibu sering mengingatkan saya perihal sikap saya yang kurang bersahabat dengan ayah –saya sering ngeles jika disuruh,sering melawan dalam hati dan lainnya. Entahlah, jiwa muda saya waktu itu membenarkan apa yang saya perbuat.
Hingga saya lulus SPMB di Fakultas Kedokteran (FK) negeri. Ketika tahu saya lulus, Ayah begitu bangganya dan selalu bercerita kepada siapa saja bahwa anaknya telah berhasil masuk FK. Saya bertanya dalam hati, benarkah beliau bangga? Bahkan beliau mengadakan syukuran dengan mengundang banyak orang. Lalu ketika akan mendaftar, beliau juga yang bela-belain menemani, padahal beliau sama sekali tidak tahu universitas itu dimana. Saya dibuat bingung dengan sikap beliau. Mungkinkah saya yang terlau perasa selama ini.
Waktu berlalu, sekali sebulan saya pulang ke rumah. Ketika di rumah saya tetap lebih sering betukar cerita dengan Ibu. Dengan Ayah? Jarang sekali. Entah kenapa, rasanya susah dekat dengan beliau. Sampai suatu ketika, Ibu menyampaikan keluhan Ayah, “Si Buyung kita itu, kalau pulang tidak pernah tersenyum pada awak”. Saya tersengat. Saya mengira selama ini beliau tidaklah perduli. Tapi ternyata saya telah membuat hatinya terluka. Pernah juga ketika siang-siang pulang kuliah, saya melihat vespa hijau tua terparkir di depan rumah kos. Saya bertanya-tanya, mungkinkah ayah ke sini? Ada apa? Saya melihat wajah tua yang begitu lelah terduduk di depan pintu. Ternyata beliau menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk mengantar sambal untuk saya. Hati saya benar-benar menangis dan tergugu. Lantas beliau pergi tanpa sempat masuk ke dalam dan minum seteguk air.
Awal 2005. Nestapa itu datang. Ayah dirawat diRumah Sakit. Ya Allah hamba belum sempat membalas jasa beliau dan minta maaf. Ketika akan pulang kampung, sampailah berita itu: Ayah telah pergi. Hati saya teriris. Berdarah-darah. Untuk pertama kali saya menangis untuk Ayah. Saya merutuki diri: kamu memang durhaka! Saya bahkan belum sempat minta maaf. Ayah mengajari saya melukis dari kecil. Mengajari sastra dan mengajari bisa ke sawah. Ayah sering membantu membuat pe-er saat SD. Kenapa setelah engkau pergi saya baru ingat jasamu. Mengajari untuk tidak berkata-kata kotor. Betapa hebat dirimu sebagai Ayah. Membesarkan 9 anak. Rela melepas diri dari seprang guru menjadi petani hanya untuk mempertahankan idealisme. Setiap mengenang Ayah, hati selalu menangis.
(Tarbawi, edisi 172, 9 Muharram 1429)
Subhanallah…. Mungkin cerita ini tidak hanya di alami oleh saudara yang namanya tidak mau disebut tadi. Mungkin diantara kita juga ada yang merasakan dan mengalami hal yang serupa dengan beliau. Sungguh mereka berdua [ayah dan ibu] adalah sosok yang begitu berjasa, tanpanya wallahualam jadi apa kita saat ini. Masihkah kita bisa belajar hingga sejauh ini? Entahlah, toh…masih banyak anak muda yang kurang mau bersyukur dengan semua nikmat yang ada.